Search

Reforma Agraria Diyakini Kurangi Konflik

Reforma Agraria Diyakini Kurangi Konflik

Lahan pertanian sawah. Foto: MYS

BERITA TERKAIT

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Beleid yang diundangkan 27 September 2018 itu pada intinya menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, yakin program ini berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, sekaligus dapat mengurangi konflik agrarian.

“Dampak ekonomi reforma agraria luar biasa karena masyarakat yang selama ini tidak punya tanah bisa punya akses terhadap tanah. Konflik juga akan berkurang,” katanya kepada wartawan di sela acara Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Reforma Agraria di Jakarta, Rabu (31/10).

Sofyan menilai konflik agraria yang selama ini terjadi, khususnya di perkebunan karena masyarakat yang menggarap lahan tidak mengantongi sertifikat. Karena itu, Pemerintah terus berupaya menerbitkan sertifikat untuk masyarakat. Saat ini Pemerintah berupaya menerbitkan sertifikat untuk 80 juta bidang tanah. Targetnya, tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia sudah bersertifikat.

Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, H.S Muhammad Ikhsan, menjelaskan ada 7 tujuan reforma agraria. Pertama, mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Kedua, menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Keempat, meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Kelima, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi. Keenam, menangani dan menyelesaikan konflik agararia. Ketujuh, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

(Baca juga: Begini Bentuk Tim Reforma Agraria Seperti DIatur Perpres 86/2018).

Ikhsan menjelaskan penyelenggaraan reforma agraria meliputi perencanaan dan pelaksanaan. Terkait perencanaan, pemerintah akan menata aset terhadap penguasaan dan pemilikan tanah objek reforma agraria (Tora). Perencanaan terhadap penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksi atas Tora. Peningkatan kepastian hukum dan legalisasi terhadap Tora. Penanganan sengketa dan konflik agraria serta perencanaan lain yang mendukung reforma agraria.

Tanah yang menjadi objek reforma agraria antara lain tanah Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu satu tahun setelah haknya berakhir. Tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit 20 persen dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena perubahan peruntukan rencana tata ruang. Tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling sedikit 20 persen dari luas Tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya.

Kemudian, tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber Tora. Tanah sumber Tora itu meliputi tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepaskan sesuai peraturan perundang-undangan menjadi TORA dan tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Baca juga: Perpres Reforma Agraria Telah Terbit, Begini Isinya).

Selanjutnya, tanah negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria. Tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria. Tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan. Tanah timbul, menurut Ikhsan bentuknya bisa berupa tanah hasil reklamasi atau yang terbentuk secara alamiah.

Berikutnya, tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah, meliputi tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial dan/atau lingkungan, tanah hasil konsolidasi yang subjeknya memenuhi kriteria Reforma Agraria, sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang telah disepakati untuk diberikan kepada pemerintah sebagai Tora atau tanah negara yang sudah dikuasai masyarakat.

Tanah yang menjadi objek agraria juga meliputi  tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang luasnya lebih dari 10 bauw yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi. Terakhir, tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia  dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi.

Sebelumnya wakil Ketua Komnas HAM bidang eksternal, Sandrayati Moniaga, mengapresiasi terbitnya Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dia mengingatkan agar pelaksanaan Perpres sejalan dengan amanat Ketetapan MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

Menurut Sandra pelaksanaan reforma agraria harus dimulai dengan menyelesaikan konflik agraria. Pemerintah perlu mencatat semua konflik agraria dan menyelesaikannya. “Jika itu tidak dilakukan maka reforma agraria akan menimbulkan konflik baru,” katanya.

Selaras itu Sandra juga menyambut baik Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres itu pada intinya pemerintah melakukan moratorium terhadap perizinan baru perkebunan kelapa sawit dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Mengingat konflik agraria terjadi bukan saja di perkebunan kelapa sawit, Sandra mengusulkan moratorium serupa juga dilakukan untuk seluruh perizinan sektor SDA seperti pertambangan.

Dalam pelaksanaan reforma agraria, Sandra mengingatkan pentingnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi itu penting mengingat izin di sektor SDA tidak hanya diterbitkan oleh pemerintah pusat tapi juga daerah. Tumpang tindih perizinan menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria. Lembaga penyelesaian konflik agararia harus ada di setiap daerah.

Sandra mencatat sedikitnya tiga langkah yang perlu dilakukan setelah Perpres Reforma Agraria terbit. Pertama, pemerintah perlu segera menyiapkan tanah obyek reforma agraria (Tora). Kedua, kelompok masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria harus berorganisasi. Ketiga, sertifikat yang diterbitkan bukan hanya individu atau komunal, masyarakat hukum adat butuh pengakuan atas tanah ulayat. “Perpres menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mempercepat proses pelaksanaan reforma agraria,” urainya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Tarigan, berharap Perpres ini mampu mempercepat pelaksanaan reforma agraria secara tepat dan cepat dalam menentukan subjek dan objek serta penyelesaian konflik. “Ujungnya, Perpres ini harus mampu menjadi jembatan untuk menjawab ketimpangan dan menciptakan kesejahteraan di masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” tegasnya.

Let's block ads! (Why?)

https://ift.tt/2AEwPvY

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Reforma Agraria Diyakini Kurangi Konflik"

Post a Comment

Powered by Blogger.